Santri, Cerminan Nasionalisme dan Pluralisme Indonesia
07.08
Bhineka
Tunggal Ika, begitulah bunyi sepenggal kalimat yang
terdapat pada pita yang dicengkram erat oleh burung garuda yang merupakan
simbol agung bagi rakyat Indonesia. Simbol ini menunjukkan betapa Negara
Indonesia sangat menghargai akan perbedaan. Kalimat Bhineka Tunggal Ika mungkin sudah familiar dan tak asing lagi ditelinga
masyarakat Indonesia mulai dari anak-anak hingga yang dewasa, karena mulai dari
TK sampai perguruan tinggi kita diajarkan tentang kewarganegaraan. Berbeda-beda
tetapi tetap satu jua,begitulah arti yang terkandung dari kalimat Bhineka Tunggal Ika. Ada makna mendalam yang
terkandung dalam kalimat tersebut, yaitu tentang keragaman warga Negara
Indonesia dalam berbagai segi, namun warga Negara Indonesia tetap berpegang
teguh pada satu tujuan yaitu menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) guna menjunjung tinggi harkat dan martabat negara.
Kalimat Bhineka Tunggal
Ika telah mencerminkan substansi bernegara yang sangat mendasar. Kalimat inilah
yang didamba-dambakan oleh Negara-negara di dunia. Berabad-abad yang lalu Indonesia
menjadi negara sorotan dunia karena Negara Indonesia berhasil menyatukan
perbedaan warga negaranya dan menyulapnya menjadi keindahan kebersamaan
nasionalisme. Pluralisme yang dihiasi dengan keramahan warga negaranya
menjadikan Indonesia menjadi negara yang masyhur di mata dunia internasional. Presiden
ke-empat Indonesia, Abdurrahman Wahid, membuktikan tujuan Indonesia tersebut dengan cara membantu dan mendukung agama
minoritas konghuchu yang ada di Indonesia guna mendapatkan haknya. Karena pada
saat itu ada diskriminasi pada penganut konghuchu. Namun, hal tersebut
sepertinya telah sirna di era globalisasi ini. Globalisasi menyebabkan kemajuan
diberbagai bidang, mulai dari pendidikan, sosial, politik, teknologi, budaya
dan lain-lain. Namun, berbanding terbalik dengan hal tersebut norma-norma
kehidupan yang seharusnya menjadi pengatur kehidupan didalam masyarakat justru
kian terdegradasi. Banyak terjadi tindakan asusila, anarkis dan kriminalitas
yang mengganggu kestabilan negara. Kerusuhan antar agama dan etnik dan kelompok
yang kini sering terjadi, menjadikan Indonesia menjadi negara yang terkesan tak
lagi mengindahkan kebersamaan. Sebagai contohnya kerusuhan yang terjadi dibeberapa
daerah di Indonesia yang mengatasnamakan suku seperti di Bima dan Papua. Nilai
kebersamaan dalam suku tersebut telah hilang, sehingga terjadi perang saudara
yang sukar untuk diakhiri. Kerusuhan antar agama juga kian marak, kerusuhan yang
terjadi antara islam sunni dan syi’ah di Madura, sempat menggegerkan Indonesia.
Disusul dengan kerusuhan yang terjadi di Lampung antara warga suku Lampung
dengan warga pendatang yang berasal dari Bali (agama hindu). Bukan hanya itu,
kini tawuran antar pelajar juga semakin tak terkendali. Masalah ini menjadi PR yang
sangat berat bagi pemerintah. Betapa Indonesia telah kehilangan jati dirinya yang
seakan-akan tak mengenali diri sendiri. Warga Indonesia sepertinya sudah
mengabaikan akan adanya nasionalisme dan pluralisme.
Belum beranjak dari
masalah di atas, Indonesia seharusnya bisa berkaca dan belajar tentang indahnya
pluralisme dan nasionalisme dari kehidupan santri. Seperti yang kita ketahui,
santri adalah pelajar yang belajar tentang ilmu agama islam di pondok
pesantren. Sistem pendidikan yang digunakan dalam pembelajaran memang terbilang
sangat unik. Dalam satu kamar di pondok pesantren, santri dari berbagai daerah
di Indonesia di kumpulkan menjadi satu tanpa memandang status. Santri memang
gambaran nyata dari kalimat Bhineka Tunggal Ika, mereka berbeda-beda dari
berbagai suku bangsa namun mereka tetap memiliki satu tujuan yaitu mencari ilmu
dan tawadhu’ atau tunduk kepada kyai yang merupakan pengasuh dari lembaga
pondok pesantren. Mereka hidup bersama tanpa adanya blok perbedaan antara yang
satu dengan yang lain. Terjadi ikatan kekeluargaan yang kuat diantara mereka. Santri
belajar untuk berbagi dalam segala hal dalam di pondok pesantren. Berbagai
kegiatan mereka lakukan bersama, mulai dari makan, antri mandi, tidur dan
mengaji. Rasa sosial mereka terbangun menjadi pondasi yang kokoh sejalan dengan
berjalannya waktu. Arus globalisasi yang mendunia pun seakan-akan terbentengi
oleh rasa kebersamaan yang ada pada diri dari masing-masing santri. Tidak
seperti pelajar yang menghuni asrama yang cenderung individualis, santri
jurstru mementingkan kebersamaan sebagai wujud nyata dari solidaritas. Santri
merupakan generasi masa depan yang nantinya akan mampu menumbuhkan kembali rasa
kebersamaan dan nasionalisme yang telah terpuruk.
Sepertinya metode ini
pula yang digunakan oleh Presiden Amerika Serikat, George Bush yang berusaha
untuk menyatukan warga kulit putih dengan warga kulit hitam Amerika Serikat. Cara
yang beliau lakukan memang sangat inspiratif, ia mengadakan suatu perkemahan
yang mana dalam setiap tenda tersebut harus dihuni bersama antara warga kulit
putih dan kulit hitam. Hal ini sepertinya memang tak mungkin, namun ternyata
usaha yang dilakukan oleh Presiden Amerika Serikat ini tak sia-sia. Seperti
yang dapat kita saksikan sekarang, warga Amerika Serikat hidup berdampingan
antara kulit putih dan kulit hitam. Kini meraka bisa mewujudkan terciptanya
rasa nasionalisme dan warga yang cinta akan pluralisme. Masalah yang dihadapi Amerika
Serikat tak jauh berbeda dengan masalah yang sedang dihadapi Indonesia saat
ini. Mayoritas daerah-daerah di Indonesia, saat ini terjadi pemisahan
perkampungan antara agama yang satu dengan agama yang lain dan antara etnik
yang satu dengan etnik yang lain dan yang lebih sempit lagi adalah antar
sekolah yang satu dengan sekolah yang lain. Hal ini tentu akan menimbulkan
kesenjangan sosial yang amat besar antar etnik, agama dan kelompok. Masyarakat akan
mementingkan kepentingan kelompoknya masing-masing tanpa menghargai kepentingan kelompok lain
karena tidak adanya komunikasi antara kelompok. Mungkin Indonesia harus
menerapkan metode yang tercermin dari kehidupan para santri guna menumbuhkan
kembali rasa nasionalisme dan cinta pluralisme. Pemerintah pusat dan daerah
harus berusaha keras untuk menyatukan perbedaan antara etnik, agama dan
kelompok. Komunikasi dan hubungan sosial yang ada antar agama, etnik dan
kelompok harus tercipta guna mendukung terciptanya rasa nasionalisme yang kokoh
dan rasa cinta akan nasionalisme. Dengan persatuan antar etnik dan agama dan
kelompok tersebut, kerusuhan-kerusuhan yang merajalela saat ini tidak akan
mungkin terjadi. Yang ada hanyalah kebersamaan yang bertujuan untuk menjadikan
Negara Indonesia menjadi lebih baik dan akan tercipta kembali masyarakat
Indonesia yang sejahtera.
1 komentar
thank's brother
BalasHapus